oleh T. Austin-Sparks
Bacaan: Yesaya 52:13-15; 53:1-12
“Sesungguhnya, hamba-Ku …” (Yesaya 52:13).
“Lihatlah, Anak domba Allah” (Yohanes 1:29).
“Lihatlah Manusia itu!” (Yohanes 19:5).
“Inilah Rajamu!” (Yohanes 19:14).
Kami akan cukup singkat dan sederhana dalam apa yang kami katakan dalam hubungan empat kali lipat dari pelayanan seperti yang diwakili di sini – begitu penuh dan sungguh mengalahkan setiap usaha untuk membawa keluar kedalaman-nya, ketakjuban-nya, kemuliaan-nya; tetapi harapan kami adalah bahwa, sama sekali terlepas dari apa yang dikatakan, kita akan tersentuh di dalam hati kita oleh roh pelayanan yang dinafaskan oleh ke-empat sebutan ini.
“Sesungguhnya, hamba-Ku.” Tidak dibutuhkan banyak wawasan untuk melihat bahwa ke-empat sebutan itu sesuai dengan apa yang ada dalam pasal lima puluh tiga dari nubuat Yesaya. (Dalam melewatinya, ini adalah hal yang sangat menyesalkan bahwa apa yang telah disebut pasal lima puluh tiga harus dimulai dengan pertanyaan, “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar?” Dalam naskah aslinya bagian baru dimulai pada ayat 13 dari apa yang adalah pasal 52 – “Sesungguhnya, hamba-Ku” – dan seharusnya terus berlanjut semakin kita membacanya; dan kemudian semua yang mengikuti adalah hamba yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, dan sudut pandang yang berbeda itu adalah ke-empat yang telah kami sebutkan – “Hamba-Ku,” “Anak domba Allah,” “Manusia itu,” “Rajamu.”).
Matius, ketika ia mengutip Yesaya 42:1 – “Sesungguhnya, hamba-Ku” – menggunakan kata Yunani untuk budak – “Sesungguhnya, abdi-ku” atau “budak” (Matius 12:18) – yang langsung memberikan corak yang berbeda pada seluruh persoalan mengenai hamba dan pelayanan-Nya; karena saat kita berkata mengenai budak – budak yang diwajibkan dan dicap – saudara tahu bahwa segala hak-hak dan kebebasan pribadi telah ditinggalkan. Bagi mereka, tidak ada hak-hak pribadi dan tidak ada kebebasan pribadi, mereka telah diserahkan. Idenya, oleh karena itu, akan hamba Tuhan seperti yang diwakili oleh Tuhan Yesus adalah yang sama seperti budak, dan hal ini menyiratkan pengosongan diri yang menyeluruh. (Dan apakah hal ini bisa berbeda dengan hamba Tuhan lainnya? Tentunya ini adalah hal yang tidak mungkin bagi kita untuk menanggung posisi yang lebih tinggi apa pun dalam pelayanan kita kepada Tuhan daripada posisi yang Ia ambil). Jadi Paulus, ketika ia berkata “mengambil rupa seorang hamba” mengkaitkannya dengan itu – Ia “mengosongkan diri-Nya sendiri” (Filipi 2:7).
Saudara lihat, Ia sedang membalik-kan seluruh jalan kejahatan. Salib – yang hanyalah titik di mana pengosongan diri ini mencapai kepenuhannya dan finalitas ekspresi dan demonstrasinya – merupakan puncak dari sumber kehancuran dan pengosongan akan sesuatu yang tidak berhak. Dengan melepaskan hak-Nya, Ia membatalkan hak palsu. Seluruh jalan kejahatan, dosa, dimulai dengan Iblis dan ditulis di dalam sejarah manusia, yang, atas anjuran Iblis, berusaha untuk memiliki kepenuhan hak-hak dan kebebasan pribadi, mengambilnya keluar dari tangan Allah dan memilikinya di dalam tangannya sendiri. Iblis memulainya, bahkan dalam kemuliaan tertinggi-nya, dan ini adalah hal yang luar biasa yang ia kehilangan. Kami tidak akan kembali secara rinci kepada deskripsi-deskripsi tentang dia itu dalam kepribadiannya, posisi dan kedudukannya sebelum ia jatuh – yang adalah kerub yang menjaga menduduki posisi yang kemudian diduduki oleh penjaga-penjaga tutup pendamaian itu sendiri di dalam kemah, “kerub yang berjaga: … engkau berjalan-jalan di tengah batu-batu yang bercahaya-cahaya” (Yehezkiel 28:14), dan sebagainya. Dan ia masih menginginkan lebih dari itu. Apa lagi yang ada di sana untuk dimiliki kecuali takhta Allah itu sendiri, kesetaraan dengan Allah, dan dalam ambisi dan aspirasi palsu untuk memiliki tempat Allah sendiri di dalam dirinya itu, untuk menjadi objek utama penyembahan? Iblis membawa ke dalam sifat manusia semua itu yang kita tahu ada dalam diri kita sendiri dari keinginan untuk memiliki hal-hal sesuai kemauan kita, untuk dianggap sebagai sesuatu: atau, mengatakannya dengan cara lain, semua kebencian itu karena kita tidak ada apa-apa-nya dan kita telah dikosongkan. Saudara tahu apa sifat manusia sekarang. Semua ini yang kita dalam hidup kita telah melihat dan mengenal dalam urusan duniawi hanyalah hasil pekerjaan dari kejahatan aslinya itu – untuk memiliki dalam kekuatan saudara sendiri, kuasa, ketuhanan, penyembahan. Untuk membatalkan semua itu, Tuhan Yesus mengosongkan diri-Nya – dan itu adalah pelayanan; untuk membatalkan hak palsu itu. Hal ini tidak hanya membawa Allah kembali ke tempat-Nya, tetapi juga membawa kembali kepada Allah dari segala sesuatu yang telah diambil dari-Nya. Itu adalah roh pelayanan.
Hal ini bekerja dengan cara ini – bahwa, demi mendapatkan segala sesuatu untuk Allah, kita tidak memiliki dasar kita sendiri di mana kita dapat berdiri. Jika Allah akan menjadi semua di dalam semua, sebagaimana Ia akhirnya akan menjadi, ini akan dengan jalan Salib ini; pertama-tama, dengan pengosongan Anak akan diri-Nya sendiri; dan kemudian dengan kita yang dikosongkan. Pengosongan kita tidak dalam alam yang sama dengan-Nya, karena kita tidak memiliki hak-hak-Nya dan kemuliaan-Nya dan kepenuhan-Nya, tapi tetap saja sebuah pengosongan, dan hanya Allah yang tahu apa artinya itu dalam ukuran terpenuhnya. Kita tahu sedikit mengenai jalan Salib dalam kehidupan kita sendiri, menemukan diri kita sendiri sepanjang waktu dikosongkan dan dicurahkan, setiap sedikit dasar kepribadian diri sendiri diambil untuk memberikan Allah tempat-Nya seluruhnya. “Sesungguhnya, hamba-Ku,” “budak-Ku.” Itu berarti pengosongan diri yang menyeluruh.
“Lihatlah, Anak domba Allah” – dan sebutan itu hanyalah membawa apa yang telah kami katakan ke langkah terakhirnya. Jika hakikat perhambaan adalah ketaatan kepada yang lain, penolakan semua hak-hak sendiri, maka Anak domba berkata bahwa ketaatan itu adalah ketaatan sampai mati. “… mengambil rupa seorang hamba … taat sampai mati” (Filipi 2:7-8). Saudara lulus sekaligus dari budak ke Anak domba, Anak domba taat sampai mati. “Seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya” (Yesaya 53:7) dalam keluhan, dalam pemberontakan, dalam keberatan, dalam pembalasan, dalam perlawanan, dalam alasan, dalam mengasihini diri sendiri. Tidak! “… taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”
“Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia!” Dosa – bukan dosa-dosa – dunia; dosa seluruh dunia. Apakah dosa seluruh dunia? Ini adalah dosa Adam; ini adalah ketidaktaatan karena ketidakpercayaan. Itulah dosa dunia. Paulus memperlihatkannya di dalam suratnya kepada jemaat di Roma – ketidakpercayaan, ketidaktaatan, sejak awal. Ia, Anak domba, menghapus dosa dunia, ketidaktaatan seluruh dunia, dalam ketaatan-Nya. Ia menguasai seluruh ketidaktaatan dalam satu tindakan ketaatan-Nya dengan apa Ia menguduskan mereka yang percaya sekali untuk selamanya. Ia menghapus dosa.
Jika saudara ingin hal itu digambarkan, saudara memiliki gambaran yang paling sederhana dan paling dikenali. “Lihatlah, Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia!” Di manakah Anak domba itu pertama kali datang ke pandangan, dalam tipe, dalam gambaran? Di Mesir, pada malam hari Paskah. “Berfirmanlah Tuhan kepada Musa … diambil-lah oleh masing-masing seekor anak domba, menurut kaum keluarga, seekor anak domba untuk tiap-tiap rumah tangga” (Keluaran 12:1,3). Sekarang, tidak ada kebajikan dalam hewan itu sendiri atau dalam darahnya. Darah anak domba, jantan kambing domba, lembu jantan, kambing-kambing, tidak memiliki kebajikan; tetapi kebajikan itu biasanya ada dalam ketaatan mereka yang begitu menyeluruh sehingga taat sampai mati. Ajaran yang mendalam di sini adalah bahwa hidup mengalir keluar dari maut. Kematian Tuhan Yesus sebagai Anak domba berarti kehidupan orang percaya oleh iman. Sementara kematian menyapu negeri, kehidupan adalah milik mereka melalui iman. “Lihatlah, Anak domba Allah, yang menghapus dosa” – ketidakpercayaan dan ketidaktaatan.
Saudara tahu bahwa hal itu ditekankan sepanjang jalan dengan Israel. Dalam ular tembaga – “maka jika seseorang dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup” (Bilangan 21:9). Ketaatan itu, iman itu, yang bijak – bukan ular itu. Iman Anak Allah membawa-Nya sampai mati di Salib-Nya – iman terhadap Allah yang membangkitkan orang mati. Ia melihat melalui Salib dan taat sampai mati, percaya kepada Allah kebangkitan. Jadi, hidup melalui iman-Nya. Rasul berkata, “Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah” (Galatia 2:20); kebajikan iman-Nya berkuasa atas ketidakpercayaan dunia; kebajikan ketaatan-Nya berkuasa atas ketidaktaatan seluruh dunia. Anak domba Allah menanggung dosa dunia.
“Lihatlah Manusia itu!” Saya duga ada cemoohan di wajah Pilatus ketika ia mengatakan kata-kata itu. Yesus keluar mengenakan mahkota duri dan jubah ungu. Itu semua dilakukan sebagai ejekan dan untuk memalukan, dan saat Ia keluar, kata-kata dalam Yesaya 52:14 ini digenapi secara harfiah – “Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia – begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi.” Pilatus tidak diragukan lagi melambaikan tangannya ke arah Yesus dan berkata, dengan nada mengejek, “Lihatlah Manusia itu!” Saudara lihat Salib membawa kemanusiaan-Nya turun ke penghinaan dan degradasi. Mereka membenci-Nya; begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi; tidak ada seorang pun di seluruh bangsa yang begitu menjadi objek penghinaan seperti Dia ini; “bukan seperti manusia … bukan seperti anak manusia.” Kata ini sendiri mengingatkan kita pada suatu sebutan yang Ia pilih untuk diri-Nya sendiri dan berkenan untuk gunakan untuk diri-Nya – “Anak Manusia.” Mengapa Ia menggunakannya? Karena sebutan ini menghubungkan-Nya dengan bangsa, kata itu membawa-Nya ke kekerabatan dengan manusia. Dan di sini, di Salib, sebagai manusia di dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan ini, Ia menunjukkan seperti apa manusia itu di hadapan Allah, seperti apa bangsa itu telah menjadi. Bahwa manusia dapat membawanya sampai ke keadaan seperti ini, menunjukkan seperti apa manusia itu. Di sini, Ia di satu sisi, mewakili keadaan rohani yang menyedihkan kepada apa dosa telah membawa manusia, dan Ia telah memasukki itu dalam kekerabatan dengan semua manusia – “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2 Korintus 5:21). Ia telah masuk ke dalam degradasi kita yang paling mendalam, demi menjadi kaum penebus yang menebus. Ini adalah perubahan adegan yang indah dari manusia ini, yang begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, sampai pada Manusia dalam kemuliaan atau Manusia yang ada di Gunung di mana Ia berubah rupa. Semua kemaluan dan celaan itu diperlukan agar Ia bisa membawa kita ke yang lain ini; hal ini diperlukan untuk membawa manusia perwakilan kepada penghinaan itu agar kita dapat diubah menjadi serupa dengan kemanusiaan-Nya yang mulia. “Lihatlah Manusia itu!” Apa yang saudara lihat? Ini adalah sebuah gambaran akan seseorang yang menyesalkan dan mengerikan yang ada di sini. Apakah pernah ada pelayanan yang seperti itu – kepada Allah, dan kepada bangsa?
“Lihatlah Manusia itu!” – seorang manusia dihina, dihindari. Tapi nabi membawanya lebih lanjut. “padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.” Itu adalah sikap teman-teman Ayub. “Allah telah melakukan ini! Ini adalah apa yang engkau layak terima di tangan Allah!” Itulah bagaimana manusia melihat hal itu. Beberapa saat kemudian, nabi berkata, “Tetapi Tuhan berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia (Tuhan) menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah.” Tuhan membawa-Nya ke bawah sana demi meninggikan kita. Ia, seperti dalam kemanusiaan-Nya sendiri, menyentuh kedalaman hasil pekerjaan dosa itu sendiri.
“Tuhan telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.” Kata “kejahatan” itu mengandung dalam maknanya persekutuan dengan Iblis. Kejahatan Israel adalah bahwa mereka bersekutu dengan dewa-dewa palsu dan tuhan-tuhan dari bangsa bukan Yahudi, yang adalah iblis. Itu adalah kejahatan besar Israel. “Ia telah menimpakan kepadanya kejahatan kita.” Lihatlah apa yang Iblis akan lakukan kepada Anak Allah, bagaimana ia akan menurunkan Dia! Itu adalah perbuatan iblis, dan manusia telah melakukannya atas dorongannya; tapi, dalam Kristus yang bangkit, naik, dan dimuliakan, pekerjaan Iblis yang paling dalam dan langsung dihancurkan oleh Salib. Itu adalah pelayanan kepada Allah.
“Inilah Rajamu!” Sekali lagi, Pilatus, tentu saja, sedang mengejek; sejauh mana manusia dalam keadaan sulitnya dapat lakukan, ia membuat lelucon dari keadaannya. “Inilah Rajamu! … Haruskah aku menyalibkan rajamu?” Ini sungguh hal yang luar biasa bagaimana kedaulatan Allah begitu aktif, bahkan di belakang lelucon manusia. Ada kebenaran yang jauh lebih banyak dalam perkataan ini daripada apa yang Pilatus pernah maksudkan. “Rajamu!” Tentu saja, bagi orang-orang Yahudi, Mesias dan “raja” adalah istilah yang sinonim. Mesias mereka akan menjadi raja, dan raja mereka akan menjadi Mesias. Mereka menolak Dia sebagai Mesias mereka, dan oleh karena itu sebagai raja mereka. Tetapi perhatikan bagaimana kedaulatan Ilahi mengubah Salib dari apa yang manusia maksudkan dari Salib itu – tiang gantungan Mesias yang ditolak – menjadi takhta Kristus yang menang. Ia sungguh memerintah dari Salib-Nya, sebagaimana saudara dan saya ketahui. Dengan Salib-lah Ia telah menang. Dengan Salib-lah Ia telah mendapatkan kekuasaan-Nya yang besar di dalam hati kita dan menarik dari bangsa-bangsa melalui banyak generasi manusia untuk menyembah Dia sebagai Raja. Pilatus berkata, “Inilah Rajamu!” dan orang-orang bangsa Yahudi menjawab “Salibkan dia! Ia bukanlah raja kami!” Tapi Allah memastikan bahwa pada saat itu juga Ia menaik-ki takhta rohani dan moral yang telah mengguncang alam semesta ini sampai batas maksimal-nya. Melalui pintu yang terbuka saat itu juga, kita dapat melihat dalam kitab Wahyu, dan kita melihat dalam pasal 1 Manusia itu; dan kemudian kita melihat Hamba itu, Anak domba itu; setelah itu kita melihat Raja itu. “Raja di atas segala raja, dan Tuan di atas segala tuan,” namun Anak domba di tengah-tengah takhta. Pemerintahan, takhta, kerajaan dipegang bersama-sama dari Kalvari dan seterusnya.
Nah, itu adalah perhambaan, dan pelayanan, sejauh mana Tuhan Yesus bersangkutan. Saya tidak menyarankan bahwa kita dapat melayani dalam kepenuhan yang sama dan dengan cara yang sama. Kita tidak bisa melayani secara penebusan, tetapi kita dapat melayani dalam roh yang sama; dan pelayanan kepada Allah melibatkan prinsip-prinsip yang sama – pengosongan diri yang menyeluruh, tidak memiliki apa pun yang adalah dari diri kita sendiri, taat bahkan sampai mati, membiarkan diri kita dirusak dan dihancurkan dan direndahkan dan dihina; tapi, terpujilah Allah, “jika kita bertekun, kita pun akan ikut memerintah dengan Dia” (2 Timotius 2:12). Tahkta berdiri di ujung jalan Salib.
Sesuai dengan keinginan T. Austin-Sparks bahwa apa yang telah diterima secara bebas seharusnya diberikan secara bebas, karya tulisannya tidak memiliki hak cipta. Oleh karena itu, kami meminta jika Anda memilih untuk berbagi dengan orang lain, mohon Anda menghargai keinginannya dan memberikan semua ini secara bebas - tanpa d'ubah, tanpa biaya, bebas dari hak cipta dan dengan menyertakan pernyataan ini.