oleh T. Austin-Sparks
Bab 2 – Ciri-Ciri Lanjut dari Tujuh Kali Lipat Buah Iman
Kita memiliki Surat kepada jemaat di Galatia secara khususnya hadir dalam pikiran kita, dan ayat dalam surat itu yang merangkum keseluruhannya, yaitu, ayat 20 dari pasal 2, bersama dengan kalimat terakhir dari ayat 19. Kita telah melihat betapa besarnya tempat yang dimiliki Abraham dalam surat ini, dan oleh karena itu betapa besarnya tempat yang dimiliki iman. Saya pikir ini akan benar untuk mengatakan bahwa, dalam menuliskan surat ini, Rasul menetapkan untuk menangani soal iman, dan membawa masuk Abraham sebagai teladan yang hebat. Seperti yang telah kami katakan, Paulus bergandengan tangan di sepanjang zaman dengan Abraham dan berdiri bersamanya di atas dasar yang sama.
Kami melanjutkan untuk mencatat tujuh hal ke dalam apa iman membawa Abraham, dan demikian juga Paulus, dan hal yang sama berlaku bagi kita. Kami secara singkat menyebut tiga di antaranya. Hal pertama kepada apa iman membawa Abraham adalah kesatuan dengan tujuan Ilahi, tujuan itu adalah benih sorgawi dalam persatuan dengan Anak Allah. Hal kedua adalah kesatuan dengan metode Ilahi, yaitu, pemisahan dari bumi dan alam dan persatuan dengan sorga. Hal ketiga adalah kesatuan dengan sarana Ilahi, yaitu Roh Anak melalui Salib. Sekarang kita melanjutkan dengan yang keempat.
Galatia 4:4, menyentuh hal ini: “Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya …” Setelah genap waktunya! Ini tidaklah sulit bagi kita untuk melihat dalam kasus Abraham bagaimana imannya dihubungkan dengan waktu Allah. Faktor waktu dengan Abraham adalah satu yang sangat nyata, dan mungkin adalah salah satu faktor yang paling tajam dan paling akut untuk imannya.
Nah, faktor waktu itu dalam kasus Abraham mempengaruhi banyak poin dalam signifikan hidupnya. Abraham menerima representasi yang sangat komprehensif tentang kebenaran Ilahi dan wahyu yang sangat lengkap, dan oleh karena itu oleh signifikannya, hidupnya mempengaruhi banyak hal-hal, dan berulang kali kita datang kepada ujian iman Abraham di sepanjang garis waktu Allah. Memang, dari satu sudut pandang, kita dapat meringkas seluruh hidupnya dan mengatakan bahwa hidupnya akhirnya mengarah kepada kemenangan iman atas faktor khusus itu. Dalam arti Ilahi penuhnya, ia tidak pernah menerima janji-janji itu di masa hidupnya. Di akhir hayatnya ia masih mencari pemenuhan janji itu, dan jika imannya telah sirna, ia akan secara alami mengambil sikap bahwa, karena hal itu sudah lama dan di sepanjang masa hidupnya masih belum tergenapi, itu semua mungkin mewakili kesalahan besar di pihaknya, pengharapan yang salah, beberapa kesesatan, dan sebagainya. Tetapi tepat pada akhirnya, jika surat kepada orang Ibrani dapat dianggap sebagai yang mengungkapkan posisi sebenarnya, ia masih percaya. Ia percaya, oleh karena itu, bahwa Allah memiliki waktu-Nya untuk memenuhi tujuan-Nya, dan bahwa, meskipun pemenuhannya tidak datang dalam masa hidupnya sendiri, pemenuhannya itu pasti akan datang. Tetapi selama masa hidupnya, dalam jangkauan seluruh jangkauan tujuan Ilahi, ada beberapa contoh pengujian akan faktor waktu itu, dan setelah diuji pada faktor itu, janji itu digenapi.
Prinsip itulah yang ingin kita pegang. Kita memilikinya amat diilustrasikan mungkin dalam kaitannya dengan janji akan Ishak. Saudara ingat bagaimana, dalam kitab Kejadian pasal lima belas, Tuhan datang kepada Abram dan memberikan janji bahwa dalam keturunannya akan ada berkat universal, dan bagaimana pertempuran itu kemudian dimulai, dan bagaimana Abram menyiapkan korban, dan dirinya sendiri, dari pihaknya sendiri, mengadakan perjanjian dengan Allah oleh iman. Ketika ia telah membuat sisinya baik, yaitu, sisi imannya, bahwa ia percaya kepada Allah, dan mengesahkannya dengan perjanjian dari sisinya dengan pengorbanan, kemudian kita diberitahu, ketika semua itu telah dilakukan, Allah membuat perjanjian dengan Abram.
Kejadian itu tampaknya menunjukkan kepercayaan yang sangat menyeluruh terhadap janji Allah tentang keturunannya; sehingga Abram mengambil posisi atas hal itu, dan sebuah posisi yang menyeluruh dan yang melibatkan dia dalam menempuh segala jalannya oleh iman. Itu melibatkan segalanya, dan itu hanya dapat dipahami dan dikenali ketika saudara melihat apa yang Allah percayakan Diri-Nya sendiri kepada, pada hari itu; sebab Allah tidak pernah membuat perjanjian, kecuali dalam hubungannya dengan Anak-Nya sendiri. Ini penting untuk diingat bahwa perjanjian-perjanjian Allah menanggung pada Anak-Nya. Perjanjian-perjanjian Allah terikat dengan Tuhan Yesus. Ketika Allah pada hari itu membuat perjanjian dengan Abram dalam darah di mezbah, Allah pada hari itu mempercayakan diri-Nya pada segala yang Ia miliki, semua yang dapat Ia berikan, semua yang dapat Ia lakukan. Ia mempercayakan diri-Nya sejauh Anak tunggal dan terkasih-Nya itu, dan itu sampai mati; karena mezbah itu dan pengorbanan itu menggambarkan pemberian Allah yang paling penuh dan paling sempurna dalam perjanjian. Dari sisinya Abram masuk ke dalamnya. Apakah ia tahu apa yang akan datang atau tidak, kita mungkin tidak akan tahu, tetapi ia pasti tahu bahwa, dari sisinya, perjanjian itu melibatkan dia untuk menjadi sama menyeluruhnya seperti Allah yang mempercayakan diri-Nya pada hari itu. Apa yang terjadi beberapa tahun kemudian adalah tuntutan yang dibuat oleh Allah atas Abram untuk memenuhi bagiannya dari perjanjian itu. “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi …” Abram benar-benar diuji pada hari berikutnya itu tentang apa yang telah terjadi pada hari itu, dan ini adalah satu-satunya iman yang menerima anak dan memberikan anak.
Sekarang di dalam pasal 15 saudara memiliki janjinya, dan meskipun tidak terlihat seperti itu, karena kisahnya begitu cepat selesai, tampaknya setidaknya lima belas tahun setelah itu sebelum janji itu digenapi. Setidaknya empat belas atau lima belas tahun, tetapi seberapa banyak lagi kami tidak dapat katakan sebab orang-orang Ibrani sangat tidak pasti dalam hal ini. Saudara ingat ketika orang-orang itu datang ke kemah Abram dan mengesahkan janji itu, kata-kata mereka dalam terjemahan kita kira-kira seperti ini: “pada waktu itu” atau “sekitar waktu itu,” atau “pada musimnya” (Kejadian 18:14). Kata-katanya sangat tidak pasti. Beberapa telah menerjemahkannya, “Pada saat ini di tahun depan ini akan terjadi,” tetapi kami tidak dapat menerjemahkannya dengan pasti. Yang dapat kami katakan hanyalah bahwa itu adalah pengesahan yang pasti dari janji itu, bahwa pada waktu yang telah ditetapkan Allah, hal itu harus digenapi. Pengesahan di kemah itu terjadi kira-kira empat belas atau lima belas tahun setelah peristiwa pasal 15 ketika janji itu diberikan. Sekarang, dengan mempertimbangkan setiap keadaan lainnya; janji, usia, dan sebagainya, saudara dapat melihat bahwa ini adalah soal iman yang nyata, faktor waktu ini. Waktu terus berjalan. Kita semakin menjauh dari kemungkinan pemenuhannya. Abram berusia sembilan puluh sembilan tahun ketika pengesahan janji itu dibuat. Saudara lihat faktor waktu adalah ujian yang nyata. Apalagi itu adalah gerakan Allah yang disengaja dan pasti. Mengapa Tuhan tidak, mengetahui apa yang akan Ia lakukan, menunggu sampai Ia akan melakukannya dan datang dan berkata, Abram, ini akan terjadi! Dan mewujudkannya? Tapi tidak! Ia datang, mengumumkannya, dan pergi, dan tahun demi tahun berlalu. Kemudian Ia datang lagi, mengesahkan janji-Nya, dan di atasnya masih ada lagi penantian. Tuhan memiliki cara yang aneh. Ia berurusan dengan kita seperti itu. Ia harus membawa alat-Nya ke dalam kesatuan dengan diri-Nya sendiri. Ada sebuah ungkapan kecil dalam Perjanjian Baru yang berbunyi seperti ini: “Ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh.” Jika kata itu berarti apa pun, itu berarti bahwa penundaan, dalam kasus seperti kasus Abram, bukanlah hal yang menyenangkan bagi Abram, bukanlah sesuatu yang akan ia pilih untuk dirinya sendiri. Setidaknya itu akan menyiratkan bahwa jika Tuhan dapat memiliki jalan-Nya, Ia akan segera menyempurnakan tujuan-Nya. Menderita lama, menantikan, sabar, tabah; hal-hal ini di pihak Allah bukanlah hal-hal yang akan Ia pilih dalam melaksanakan tujuan-Nya, melihat segala penderitaannya, dan kesusahannya dan rasa sakitnya yang ada. Tetapi Ia sabar, dan menanti dengan sabar, dan alat-Nya harus datang ke dalam kesatuan dengan-Nya, kesatuan dengan hati-Nya.
Intinya adalah bahwa itu mengangkat hal ini ke tingkat tertentu. Ini bukanlah bahwa Tuhan hanya berurusan dengan saudara dan dengan saya seperti seorang kepala sekolah, mencoba untuk mendapatkan sesuatu di dalam diri kita. Mungkin Tuhan menginginkan kualitas moral dikembangkan di dalam diri kita; kesabaran, menderita lama, dan sebagainya; tidak ada keraguan bahwa itu benar, tetapi ini tidak hanya itu. Tuhan berkata, Aku tidak akan melakukan ini sampai engkau menunjukkan tanda-tanda kualitas tertentu. Tuhan sedang mengangkat kita ke tingkat yang sama dengan diri-Nya sendiri, membawa kita ke dalam kesatuan yang nyata dengan diri-Nya sendiri, sehingga kita memiliki perasaan yang sama terhadap orang lain dan terhadap situasinya, terhadap kebutuhannya, yang dimiliki-Nya. Saya percaya bahwa ketika Tuhan bisa mendapatkan seruan korporat dalam Jemaat-Nya yang merupakan seruan-Nya sendiri, maka waktu-Nya telah tiba. Tuhan tidak hanya sedang menunggu suatu waktu. Ada sesuatu yang terikat dengan waktu itu, dan Ia berusaha untuk menghasilkan di dalam hati alat-Nya apa yang ada di dalam hati-Nya sendiri, sehingga ia berseru satu seruan bersama-Nya. Jemaat harus berseru, dan Jemaat harus berseru seruan Allah, dan satu seruan itu belum ada di dalam Jemaat. Ada banyak suara, suara yang saling bertentangan; dan oleh penderitaan karena penundaan, dan penderitaan dari ketidakmungkinan situasinya yang semakin berkembang, dan oleh penderitaan kebutuhan akan apa yang berasal dari Allah dibandingkan dengan semua yang lain ini, Jemaat akan dibawa untuk menyerukan seruan itu. Pada tengah malam akan ada seruan! Sekarang itulah kesatuan dengan Allah pada waktu-Nya.
Namun memang benar bahwa Allah memiliki waktu-Nya. Ada kegenapan waktu sehubungan dengan setiap gerakan Ilahi, dan kita tidak dapat mengambil hal-hal keluar dari waktu Allah. Mungkin kita telah belajar itu. Kita tidak dapat mempercepat sesuatu, kita tidak dapat mempercepat Allah, kita tidak dapat mewujudkan hal-hal yang waktunya belum matang. Pengetahuan ini ada pada Tuhan, dan Ia akan membawa kita dalam roh ke dalam kesatuan dengan Dia pada poin itu, untuk menjadi satu dengan Dia pada waktu-Nya, bahwa ketika waktu-Nya tiba, Ia mendapatkan kita siap kepada tangan-Nya sebagai mereka yang melalui siapa Ia dapat bergerak. Apa pun tujuan yang terikat dengan waktu-Nya, Tuhan harus memiliki alat yang melaluinya Ia dapat bergerak kepada pencapaiannya. Dan ketika waktu Tuhan datang, sungguh kita mengetahuinya di dalam hati kita! Saya rasa kita semua tahu sesuatu tentang ini. Oh, betapa kita telah berseru, dan mengerang, dan menderita, dan berjuang, dan melakukan segala yang dapat kita lakukan untuk membuat Allah melakukan hal-hal tertentu; tetapi waktu-Nya belum tiba. Kita telah diuji dalam iman, dan kita telah sampai akhirnya pada tempat di mana kita dengan pasti dan kuat berdiri dengan Allah untuk hal itu dan bertahan, dan kemudian waktu Allah datang, dan kita tahu di dalam hati kita bahwa waktunya telah tiba, dan dengan cara yang luar biasa itu terjadi begitu saja. Semua yang harus dibayar dengan doa dan penderitaan mungkin akan membuat kita berharap bahwa, ketika hal itu terjadi, dunia akan mengetahui segalanya tentang itu; tetapi itu terjadi begitu saja, dan saudara hampir tidak mengenali dari indikasi luar bahwa hal itu telah terjadi. Waktu Allah tiba, dan itu sangat mudah; itu terjadi begitu saja. Tetapi kita tidak akan pernah dapat mengatakan – kita dilarang untuk mengatakan – bahwa kita yang berpegang teguh pada Tuhan, doa kita, pendirian kita bersama-Nya, perjalanan kita melaluinya dalam hal itu tidak diperlukan; bahwa itu akan terjadi dalam penentuan Allah pada waktu-Nya, apakah kita menderita atau tidak. Saudara tidak berani mengambil posisi itu atas apa pun di jalan Allah. Ishak mungkin telah ditentukan sebelumnya sebelum ada dunia, namun iman Abram adalah faktor penting untuk membawa masuk Ishak. Seluruh Firman Allah menekankan hal itu, bahwa diri Allah sendiri menuntut iman yang bekerja sama dari umat-Nya sendiri, bahkan untuk melakukan pekerjaan yang telah ditentukan sebelumnya.
Sekarang, kita mungkin menghabiskan banyak waktu kita pada hal itu, dalam menelusurinya melalui Firman, tetapi kita tidak akan melakukannya sekarang. Tetapi saya akan menyarankan kepada saudara bahwa faktor waktu dalam Firman Allah adalah hal yang sangat membantu untuk diketahui.
Kami melewati, kemudian, untuk beberapa saat ke nomor lima; iman yang membawa ke dalam kesatuan dengan dasar tujuan Ilahi, yaitu, kebangkitan. Kami memperhatikan bagaimana semua ini tersiratkan dalam surat kepada Jemaat di Galatia, dan terutamanya tegas dalam ayat yang ada di hadapan kita: “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah …” Saudara lihat, kebangkitan tersiratkan di sana, dan demikian pula di seluruh surat kepada Jemaat di Galatia ini, dan ini adalah dasar Allah untuk mewujudkan tujuan-Nya; dan jika harus ada kesabaran iman; memang, jika harus ada semua hal lain yang telah kami sebutkan ini sebagai ekspresi iman, ini sama pentingnya dan sangat diperlukan bahwa harus ada kebangkitan sebagai dasar Allah. Sekarang perluas itu dan saudara akan melihat bahwa Allah menuntut dasar itu, dan semua maksud dan tujuan Allah digenapi atas dasar kebangkitan. Sekarang, itu adalah bidang yang luas, tetapi ini diringkas dalam kasus Tuhan Yesus, sebab semua Kitab Suci dikumpulkan di dalam Dia: Ia adalah total dari segala sesuatu di dalam Firman Allah; semuanya bertemu di dalam Dia, dan semua jenis dan simbol serta bayangan lainnya dikumpulkan di dalam Dia. Segala tujuan Allah untuk segala zaman berpusat di dalam Dia, dan tidak ada satu pun yang dapat dipenuhi, hanya di atas dasar bahwa Ia dibangkitkan dari antara orang mati. Tinggalkan Dia di sana tersalibkan, dan tujuan Allah sepenuhnya hilang. Ini adalah melalui kebangkitan dari antara orang mati bahwa segala sesuatu menjadi nyata, dan itu adalah hukum yang mengatur. Bagi umat Tuhan ini berarti bahwa Ia harus bekerja dengan sedemikian rupanya dengan mereka sehingga dapat memiliki kebangkitan sebagai dasar yang pasti dan positif di dalam diri mereka. Tentu saja, tidak ada kebangkitan di mana tidak ada kematian, dan oleh karena itu kepada kebangkitan, kematian harus terjadi. Tetapi saya lebih suka menganggap kematian sebagai sisi negatif dan kebangkitan sebagai sisi positif, dan lebih memilih untuk tidak menekankan Salib di sisi kematian, melainkan memandangnya dalam pandangan ke mana Salib itu mengarahkan dan apa yang dijadikan mungkin dari Salib, yaitu kebangkitan. Allah selalu berada di sisi positif. Jadi Tuhan akan berusaha menemukan iman di dalam kita kepada kebangkitan.
Sekarang Abram, sekali lagi, diuji dengan mengacu pada iman tentang hal itu. Itu adalah kuasa kebangkitan, baik dalam kasusnya maupun dalam kasus isterinya, yang di tempat pertama membawa Ishak. Saudara ingat Sara tertawa. Tuhan berkata kepada Abram, “Mengapakah Sara tertawa? … Adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk Tuhan?” Iman kebangkitan diperlukan, karena, seperti yang dikatakan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “ia (Abram) mengetahui bahwa tubuhnya sudah sangat lemah …” Dalam imannya, ia pertama-tama mempercayai Allah untuk kebangkitan. Sekali lagi, ketika tiba saatnya untuk mempersembahkan Ishak, ia percaya Allah. Kita diberitahu bahwa ia taat karena ia percaya Allah dapat membangkitkan dia dari antara orang mati. Itu adalah iman kebangkitan, menyediakan Allah dengan apa yang diperlukan untuk pemenuhan tujuan-Nya.
Betapa kita diuji dalam hal ini! Tuhan kadang-kadang mengizinkan hal-hal berjalan sangat jauh, baik dalam kehidupan individu kita maupun secara bersama-sama. Ia mengizinkan tahap-tahap itu ketika semuanya tampak seolah-olah maut telah menang. Dan sepertinya kita tidak pernah benar-benar sampai ke tempat di mana iman tidak pernah diuji dalam hal itu. Betapapun banyaknya pengalaman kita, betapapun seringnya kita telah melaluinya dan bangkit kembali dalam kebangkitan dan kemenangan, tampaknya kita tidak pernah sampai ke tempat di mana kita tidak dapat dicobai. Setiap serangan maut yang baru, setiap pengalaman baru di mana segala sesuatunya tampak hancur berantakan, menemukan kita sangat dicobai. Hanya itu saja yang ada di sana: kita sangat dicobai, dan itu berarti bahwa kita berada dalam posisi di mana sangat mungkin, setidaknya, bagi kita untuk memiliki pertanyaan tentang segalanya; pertanyaan tentang Tuhan, pertanyaan tentang hal-hal yang mengenainya kita telah membuat pernyataan kepastian yang paling luar biasa. Tidak ada seorang pun yang benar-benar tahu akan pernah mengatakan, aku tidak akan pernah ragu lagi! Tapi saya pikir ada beberapa kemajuan yang dibuat. Tuhan sedang mengamankan pijakan yang bertumbuh di dalam kita. Pekerjaan-Nya dengan kita melalui pencobaan iman adalah untuk membawa kita (walaupun tanggapan kita begitu lambat) ke tempat di mana kita mempercayai Dia sebagai Allah kebangkitan, dan di mana kita akan dapat melepaskan kepada apa yang tampaknya seperti maut, dengan kepastian dan keyakinan bahwa akhirnya bukanlah kematian melainkan kebangkitan.
Sekali lagi, inilah dasar yang harus dimiliki Tuhan, iman kepada-Nya sebagai Allah kebangkitan. Ketika dalam perkara apa pun, ini adalah pertanyaan tentang hidup dan mati, maka saudara sampai pada kata yang paling menyeluruh itu, Mustahil! Pada titik itulah pengujian muncul – Adakah sesuatu terlalu sulit? Adakah sesuatu yang mustahil? Saudara perhatikan bahwa kata “mustahil” secara khususnya dikaitkan dengan pertanyaan tentang kebangkitan. Iman menemukan ujian terdalamnya atas pertanyaan tentang kebangkitan, di mana pun kematian berada. Itu berarti bahwa di mana ada iman atas titik kebangkitan, ada kemenangan terbesar, kemenangan yang lebih besar di alam itu daripada di alam lain mana pun. Ini adalah kemenangan terakhir – iman di dalam Allah kebangkitan.
Iman membawa Abraham ke dalam kesatuan dengan penderitaan Ilahi. Kami telah mengatakan itu sebelumnya, tetapi itu mungkin menanggung satu atau dua kata lagi. Ini sungguh aneh, namun memang benar, bahwa Tuhan memanggil umat-Nya untuk menjadi satu dengan-Nya dalam penderitaan hati-Nya sendiri. Saya pikir tidak ada contoh lain di dalam seluruh Firman Allah di mana bahasa lebih identik daripada dalam kasus Abram yang dipanggil untuk mempersembahkan Ishak dan Allah yang memberikan Anak-Nya. “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi …” (Kejadian 22:2) – “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal …” (Yohanes 3:16). Anak yang dikasihinya! Itu membawa Abram sangat dekat dengan Allah, dan Allah sangat dekat dengan Abram. Pada saat itulah kita memiliki kesatuan terbesar antara Abraham dan Tuhan. Kami mengatakan bahwa Paulus bergandengan tangan dengan Abraham di atas dasar yang sama, dan bahwa hamba Allah yang agung itu memiliki banyak yang dapat dikatakan yang menunjukkan bahwa ia sedang memasuki dalam suatu ukuran ke dalam penderitaan Ilahi. “Aku … menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat” (Kolose 1:24). “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya …” (Filipi 3:10). Itulah kesatuan dengan Tuhan dalam penderitaan-Nya. “Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuminum? … Jawab mereka: “Kami dapat.” Yesus berkata kepada mereka: “Memang, kamu akan meminum cawan yang harus Kuminum …” (Markus 10:38-39). Tuhan memanggil kepada itu dalam kaitannya dengan tujuan-Nya. Tujuan kekal Allah yang agung menuntut bahwa mereka yang terikat dengan tujuan itu, sebagai alat untuk perwujudannya, akan dengan itu menyentuh – tetapi dengan sangat ringan – cawan-Nya, akan menyesap cawan penderitaan-Nya, menjadi satu dengan-Nya dalam penderitaan itu, dari kesengsaraan, kesedihan, patah hati. Musuh begitu sering menyentuh hal-hal yang paling suci, yang paling kudus dengan tangannya yang najis, sehingga ketika beberapa anak Allah hanya mencicipi sedikit persekutuan penderitaan-Nya, musuh memutarbalikkan penderitaan itu dan mengenakan pada kulit mereka amarah Tuhan, ketidak-senangan Tuhan, padahal sebenarnya itu adalah sentuhan kesatuan yang paling suci dengan Tuhan, kehormatan yang paling dalam.
Saya selalu sangat ragu-ragu untuk mengatakan hal terkecil apa pun sebagaimana Paulus dapat berbicara; seperti, misalnya, kata ini: “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku …” Aku bermegah atas kelemahanku? Mungkin hati yang penakut dan pengecut ini tidak akan melepaskan cukup pada hal itu, tetapi saya merasa bahwa ada tempat di mana kita bisa mendapatkan di mana kita menganggap penderitaan sebagai hak istimewa, suatu kehormatan besar; yaitu, penderitaan yang akan berartikan sesuatu bagi Tuhan, dan untuk tujuan Tuhan. Jelas, Paulus melihat itu dengan mata yang jernih. Memang benar bahwa Tuhan telah memperoleh sangat banyak, dan Tubuh Tuhan telah memperoleh sangat banyak melalui persekutuan penderitaan-Nya di pihak banyak anak-anak-Nya sendiri. Saya pikir kami telah sering mengatakan bahwa mereka yang belum menderita memiliki sangat sedikit yang dapat diberikan. Nah, kami tidak akan membuat banyak tentang penderitaan kami, tetapi kami perhatikan hukumnya: Allah harus memiliki mereka yang berada dalam kesatuan dengan penderitaan-Nya.
Jika saudara suka menggunakan kata pembesaran daripada kepenuhan, saudara bisa. Iman diuji, dicobai di sepanjang banyak garis. “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.” Maka firman-Nya kepadanya: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” (Kejadian 15:5). “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat” (Kejadian 22:18). Itu adalah pembesaran, itu adalah kepenuhan, dan iman membawa Abram ke sana.
Iman pemenang meruntuhkan hal-hal yang membatasi dari waktu, dari dunia ini, dan menuntun langsung keluar ke bentangan penuh jangkauan tujuan Ilahi dari segala kekekalan. Jemaat dipanggil ke dalam tujuan itu, yang, sebagaimana yang telah kami katakan, bersifat universal.
Apa yang benar tentang Jemaat secara keseluruhan adalah benar dalam kehidupan individu kita. Jalan menuju pembesaran adalah melalui ujian iman tentang waktu Allah, ujian iman tentang penderitaan Allah, ujian iman tentang dasar Allah, sarana Allah. Ketika Tuhan mendapatkan umat-Nya terbukti dalam iman dalam segala perkara ini, maka datanglah pembesaran. Kita hanya mendapatkan kepenuhan di jalan itu. Dalam tekananlah kita diperbesar, melalui penderitaan kita mencapai kepenuhan, melalui iman yang dicobai di setiap titik, di setiap arah, bahwa peningkatan itu datang; dan tidak ada peningkatan dengan cara lain.
Jadi janji itu telah digenapi kepada Abram. Saudara perhatikan apa yang Paulus katakan dalam suratnya kepada jemaat di Kolose ini: “supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada kita …” Apakah janji itu? Itu adalah karunia Roh.
Sekarang kita dapat mengumpulkan semuanya itu dalam satu pernyataan akrab tentang Tuhan di dalam Lukas 12:49: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala! Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung!” Ia bersusah hati, dan mengerang dalam kesesakan itu untuk pembesaran, untuk pelepasannya. Bagaimana itu akan datang? “Aku harus menerima baptisan.” Apa itu baptisan? Penderitaan, Salib. Apa yang akan menjadi hasilnya? Pelemparan api di bumi; yaitu, Roh. Pentakosta adalah hasil dari Penderitaan. Itu adalah pembesaran dari kesusahan hati, dan itu melalui Salib. Kita harus datang dengan cara itu menuju kesatuan dengan Allah dalam kepenuhan-Nya. Tetapi marilah kita ingat bahwa kepenuhan adalah tujuan-Nya bagi kita. Ini adalah bagian dari tujuan Allah untuk memperbesar dan juga merupakan bagian dari cara Allah untuk menguji iman. Oh ya, terkadang kita merasa semua itu adalah ujian, semua itu adalah cobaan, Allah tidak punya apa-apa lagi untuk kita. Tidak! Ia secara pasti ditetapkan pada pembesaran seperti halnya Dia itu pada setiap tahap pengalaman kita, dan pembesaran adalah melalui Salib. Ia berusaha untuk membawa kita melalui pencobaan iman ke dalam apa yang sepenuhnya menjawab kepada tujuan akhir-Nya, dan itu akan terjadi ketika Anak-Nya memenuhi segala sesuatu. Kita dipanggil untuk kepenuhan itu.
Semoga Tuhan menggunakan kata-kata ini untuk mendorong kita di jalan, menguatkan kita, dan selalu menjaga di hadapan kita faktanya bahwa iman adalah kemenangannya.
Sesuai dengan keinginan T. Austin-Sparks bahwa apa yang telah diterima secara bebas seharusnya diberikan secara bebas, karya tulisannya tidak memiliki hak cipta. Oleh karena itu, kami meminta jika Anda memilih untuk berbagi dengan orang lain, mohon Anda menghargai keinginannya dan memberikan semua ini secara bebas - tanpa d'ubah, tanpa biaya, bebas dari hak cipta dan dengan menyertakan pernyataan ini.