oleh
T. Austin-Sparks
Diterbitkan di dalam majalah "Toward the Mark"
Mei-Juni 1975, Jilid 4-3. Judul asli: "Where Are You Looking?" (Diterjemahkan oleh Silvia Arifin)
Biarlah matamu memandang terus ke depan dan tatapan matamu tetap ke muka.
Tempuhlah jalan yang rata dan hendaklah tetap segala jalanmu.
Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri. (Amsal 4:25-27)
“Dengan mata yang tertuju kepada Yesus …” (Ibrani 12:2)
Sebab manusia dalam hidup Kristus memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Roh telah melihat bahwa hal ini baik untuk mengisi seluruh Alkitab dengan kebenaran itu, terus menerus mendesak orang percaya untuk menyadari bahwa hidupnya diatur dalam konteks tujuan ilahi. Surat kepada orang Ibrani tidak hanya mengajukan kepada kita untuk berlari sampai kepada tujuan ini, tetapi surat ini menggambarkan Kristus sebagai contoh dan bukti yang kuat bahwa tujuan ini dapat dicapai. Yesus telah pergi melalui jalan ini; Ia telah pergi sepanjang jalannya, dan Ia telah tiba di tempat tujuan. Terlebih lagi, Ia telah melakukan semua itu untuk kita, dan dengan pencapaian-Nya telah memberi kita dasar keyakinan bahwa tujuan itu dapat dicapai dan hadiah diterima. Ia mengambil rupa seorang manusia, menerima tantangan dari situasi dan pengalaman kita, tidak pernah goyah sampai akhir ilahi dicapai. Kita diperingatkan bahwa Ia telah memenuhi tujuan Allah dengan penuh kemenangan, dan bahwa dengan posisi-Nya saat ini Ia memberikan kita jaminan bahwa kita juga bisa berbagi dalam kemenangan-Nya. Kita harus terus memandang kepada Yesus. Lebih tepatnya ini harus dinyatakan sebagai: “memandang berpaling dari yang lain kepada Yesus.” Persoalan arah tatapan rohani kita ini adalah persoalan yang paling penting. Orang yang bijaksana itu menyamakan jalan yang rata dan tetap dengan pandangan terus ke depan dan dengan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri. Firman Allah memberikan peringatan yang jelas tentang menyimpang keluar dari jalan kehendak-Nya, sebab Allah tahu bahaya yang terlibat dalam melakukan hal itu dan ingin menyelamatkan kita dari halangan kemajuan yang dapat terjadi ketika kita memandang atau menatap ke arah yang salah. Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa dari tatapan ini yang harus dihindari oleh mereka yang ingin membuat kemajuan rohani.
Tuhan Yesus paling tegas tentang hal ini ketika Ia menyatakan bahwa setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah. Penolehan ke belakang ini dapat menyebabkan tragedi yang mematikan. Di padang gurun, inilah apa yang umat Israel lakukan. Mesir berbaring di belakang mereka dan mereka harus selalu berpaling dari-nya, tetapi dalam kesulitan dalam perjalanan, mereka memanggil kepada satu sama lain untuk menoleh kembali. “Berulang kali mereka mencobai Allah, menyakiti hati Yang Kudus dari Israel.” (Mazmur 78:41). Mereka merusak seluruh perjalanan mereka dengan tindakan ini, dan selama bertahun-tahun mereka tidak membuat kemajuan sama sekali melainkan hanya berkeliling dalam lingkaran; dan semuanya karena mereka menoleh ke belakang. Generasi itu gagal untuk masuk ke dalam apa yang telah ditetapkan Allah bagi mereka, hanya karena mereka menyerah pada godaan untuk menoleh kembali, yang adalah – dan selalu adalah – arah yang salah.
Bahaya yang serupa menimpa umat Allah pada zaman Perjanjian Baru. Orang-orang percaya Galatia resah oleh suara orang bangsa Yahudi, memanggil mereka untuk menoleh ke belakang, tidak ke dunia dengan kefasikan-nya, tidak untuk meninggalkan Kristus seluruhnya, tetapi untuk memandang ke prosedur keagamaan yang bukanlah hidup rohani kepada apa mereka telah dipanggil di dalam Kristus. Mereka sudah setengah menoleh ke belakang, dan telah berhenti karena ini. Sebelumnya mereka telah membuat kemajuan yang baik, seperti yang kita selalu lakukan ketika kita menjaga mata kita tetap tertuju pada Kristus, tetapi sekarang mereka telah berhenti dan mengajukan pertanyaan apakah mereka akan sesungguhnya terus berjalan, atau apakah mereka akan kembali ke unsur-unsur miskin yang seharusnya telah ditinggalkan. Surat itu dimaksudkan untuk memperingatkan mereka dari bahaya dari menoleh ke belakang. Surat kepada orang Ibrani dituliskan untuk tujuan yang sama. Mereka yang bersangkutan bisa dengan mudah dibuat untuk merasakan nostalgia emosional dari sistem dari mana mereka telah diselamatkan, sehingga mereka harus diingatkan bahwa mereka akan kehilangan kesenangan Allah jika mereka mundur kembali, dan mendesak malah untuk terus berjuang, berpaling dari masa lalu dan memfokuskan pandangan mereka kepada Kristus yang telah ditinggikan. Seberapa majunya kita mungkin dalam pengalaman Kristen kita, tampaknya tidak ada titik ketika kita bisa sanggup untuk mengambil mata kita dari tujuan yang ditempatkan di depan mata kita dan memanjakan diri dalam kebodohan dari pandangan ke belakang.
Ketika pengintai-pengintai membawa kembali laporan yang salah tentang negeri yang dijanjikan itu, mereka melakukannya karena mereka hanya memandang di sekeliling mereka, dan tidak pernah mengukur apa yang mereka lihat dengan kenyataan Allah yang maha kuasa. Mereka tidak hanya membayangkan kesulitan-kesulitannya; mereka tidak perlu melakukan itu sebab kota-kota dan raksasa-raksasa itu cukup nyata. Tapi mereka terus meletakkan pandangan mereka pada hal-hal di sekitar mereka, tidak pernah mengangkat mata mereka kepada yang satu dari siapa bantuan datang, dan dengan begitu mereka berkecil hati sendiri dan mereka membuat umat Allah putus asa dengan apa yang disebut sebagai kabar jahat. Masalahnya adalah bahwa mereka hanya melihat pada lingkungan mereka yang dapat terlihat dengan mata mereka dan mengambil mata mereka berpaling dari Tuhan. Hanya ada dua dari mereka yang terus memandang ke arah yang benar, dan mereka adalah orang-orang yang akhirnya pergi berjalan sampai akhir. Mata mereka menatap terus ke depan, dan jadi jalan mereka ditetapkan.
Dalam Perjanjian Baru, Petrus adalah contoh yang bagus dari bahaya yang datang kepada mereka yang melihat di sekitar. Selama ia terus menatap matanya kepada Kristus ia sesungguhnya bisa berjalan di atas air, tapi ia mulai tenggelam segera setelah ia berpaling dari-Nya, mengubah arah perhatiannya dan mulai melihat keadaan – “Tetapi ketika dirasanya tiupan angin …” (Matius 14:30). Sekali lagi biarkan dikatakan bahwa ia memiliki banyak alasan untuk ketakutan-nya. Memang ada naskah kuno yang berbunyi, “angin yang kuat.” Namun itu adalah kebodohannya dengan membiarkan keadaan luar mengalihkan perhatiannya dari Tuhan-nya yang membuatnya mendapatkan pembasahan, meskipun tangan Yesus begitu penuh kasihnya menyelamatkan dia dari sesuatu yang lebih buruk. Biar bagaimanapun kita harus berhati-hati terhadap tatapan di sekitar dalam ketidakpercayaan ketika kita seharusnya berpaling dari semua itu dan memandang ke atas dalam iman.
Paulus harus menyalahkan Jemaat di Korintus sebab mereka membatasi penglihatan mereka pada hal-hal yang tetap berada di depan mata mereka: “Tengoklah yang nyata di depan mata kamu.” (2 Korintus 10:7). Untuk menjadi rabun secara rohani, fokus hanya pada apa yang dekat di depan mata, adalah untuk menjadi terlalu mudah puas dan merasa penuh dalam alam hal-hal rohani; untuk memiliki cakrawala yang kecil dan sempit dan untuk gagal untuk menghargai lebih banyak lagi yang ada dalam pikiran Allah. Ini adalah hal yang sangat mudah untuk menetap pada daerah yang terbatas dan sangat dibatasi, memikirkan hal-hal rohani hanya dengan apa yang telah kita kenal dan tampaknya begitu penting bagi kita, sementara kita gagal untuk mencatat lebih banyak lagi yang terletak di luar jangkauan kita dan yang pada apa kita telah dipanggil. Ada beberapa hal yang lebih melemahkan dalam kehidupan Kristen dari pada asumsi bahwa tidak ada apa pun di luar lingkup kecil dari pengalaman kita. Ini adalah hal yang mungkin untuk dapat begitu tertutup, begitu pendek dalam pandangan kita, sehingga kita berputar-putar berkeliling, tidak pernah melihat keluar ke dimensi baru dari pengalaman rohani kepada apa Allah memanggil kita, dan hampir membayangkan bahwa kita tahu semua yang perlu diketahui tentang Firman Allah dan tujuan-Nya dalam Kristus. Jemaat di Korintus tampaknya telah melakukan ini, begitu fokus pada urusan mereka sendiri, bahkan karunia rohani mereka sendiri, sehingga mereka hampir terhenti secara rohani. Mereka melihat pada diri mereka sendiri, penuh perhatian pada perkumpulan mereka sendiri, yang adalah cukup benar, tapi ternyata tidak bisa menghargai tujuan besar Allah yang diwakili oleh pelayanan Paulus. Bahkan hal-hal yang telah dengan jelas ditunjukkan oleh Allah dan diberkati oleh-Nya dapat menjadi hambatan ketika mereka menghentikan dan menahan perhatian sebagai hal-hal dalam diri mereka sendiri. Ini adalah hal-hal yang ada tepat di depan muka kita, tetapi kita selalu dimaksudkan untuk melihat melampaui mereka kepada Tuhan, dan selalu melampaui faktor-faktor langsung kepada nilai-nilai yang kekal di dalam Kristus. Kita bisa rabun bahkan dengan Firman Allah, jika kita hanya berkonsentrasi pada apa yang kita sudah ketahui tentang Kristus dan gagal untuk menghargai bahwa Allah memiliki lebih banyak terang dan kebenaran yang dapat keluar dari Firman-Nya.
Kepada Jemaat di Filipi Paulus menulis: “… janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri …” (Filipi 2:4). Ia mendesak mereka untuk tidak selalu diatur oleh bagaimana hal-hal mempengaruhi mereka secara pribadi, tidak untuk mengukur setiap hal dengan demikian, apakah mereka berdiri untuk mendapatkan atau kehilangan dengan apa yang terjadi. Lupa-diri adalah salah satu rahasia untuk kemajuan rohani. Ketika, dalam perkataan-Nya dengan perempuan Samaria yang membutuhkan itu di sumur di Sikhar, Yesus telah menunjukkan penyimpangan penuh kasih ini dari kepentingan pribadi untuk menjaga kepentingan orang lain, Ia mengikuti contoh-Nya dengan mendesak para murid-Nya untuk mengangkat mata mereka dan memandang ke ladang. Pandangan yang egois adalah pandangan ke bawah, dan dengan demikian harus dihindari oleh mereka yang ingin membuat rata jalan kaki mereka. Perhatian Paulus tidak hanya dengan kebaikan rohani tiap-tiap orang percaya secara pribadi tetapi dengan kemajuan ke depan persekutuan umat Allah, dan ia tahu bahwa ini akan secara serius terganggu jika masing-masing menjadi sibuk dengan urusan sendiri, meskipun itu adalah dalam hal-hal rohani.
Yang terakhir dari pandangan salah arah ini mungkin adalah yang paling umum dalam kasus mereka yang ingin mengikuti Tuhan. Berapa banyak dari Kitab Suci yang tampaknya begitu peduli dengan mendapatkan umat Allah untuk berhenti memandang ke dalam. Mungkin tidak ada yang lebih diperhitungkan untuk menangkap kemajuan rohani dari pada pandangan ke dalam ini. Apa yang sedang kita cari? Sesuatu yang baik dalam diri kita? Kita tidak akan pernah menemukan itu, sebagaimana Paulus membuatnya cukup jelas ketika ia menegaskan: “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik” (Roma 7:18). Introspeksi adalah kebalikan dari iman, sebab introspeksi mencari beberapa bukti dari kekudusan dan kuasa Allah dalam diri kita sendiri, bukannya bersukacita dalam kesempurnaan Juruselamat kita. Itu memiliki penampilan palsu kerendahan hati dan kesalehan, tetapi sesungguhnya itu mengarah pada kesibukan dengan diri sendiri, bukannya menjadi sibuk dengan Kristus. Kita harus peka sehingga Roh Kudus dapat memimpin kita seterusnya dan selamanya pada penerapan kuasa darah Kristus yang membersihkan, tapi kita tidak boleh terus menatap ke dalam ketika kita seharusnya memandang terus ke atas kepada Pengganti dan Juruselamat kita. Ini bukanlah seorang yang sehat tetapi seorang yang sakit yang selalu merasakan denyut nadi-nya sendiri dan mengambil suhu badannya sendiri. Keselamatan adalah kesehatan; kesehatan mereka yang tahu bahwa kebenaran mereka ada di sorga. Kita melakukan yang benar ketika kita membiarkan Tuhan mencari kita, tetapi kita tidak akan mendapatkan apa pun kecuali masalah jika kita bersikeras untuk memandang ke dalam. Jika kita berpikir bahwa hal ini diperlukan untuk terus memandang ke dalam untuk menghindari jatuh ke jerat Iblis, pemazmur akan meyakinkan kita bahwa Tuhan akan menjaga kaki kita jika kita menjaga mata kita tetap kepada-Nya: “Mataku tetap terarah kepada Tuhan, sebab Ia mengeluarkan kakiku dari jaring” (Mazmur 25:15). Ini adalah satu argumen lagi untuk memandang ke atas.
Hal ini menjadi cukup jelas bahwa ada banyak yang tergantung pada penglihatan kita, jadi kita tidak terkejut bahwa menjelang akhir dari surat kepada orang Ibrani yang mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk persekutuan dengan Kristus dan mendorong kita untuk terus berlari ke arah kepenuhan di dalam Dia, harus ada panggilan untuk melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan. Kita harus memandang berpaling dari apa yang ada di belakang, dari apa yang ada di sekitar, dari apa yang ada dekat di depan mata dan apa yang pada dasarnya egois; untuk berpaling dari diri kita sendiri kepada Yesus. Abraham, manusia besar penuh iman, menanti-nantikan kota sorgawi dan negeri sorgawi itu, dan dengan demikian diselamatkan dari menoleh ke belakang atau menetap. Banyak yang terikat dengan pandangan berkelanjutan dia ini. Begitu sering ia tergoda untuk mencari keuntungan yang lebih langsung, beberapa posisi tengah yang kurang dari yang terbaik Allah, dan Tuhan harus terus-menerus memanggilnya untuk mengalihkan pandangannya dari gangguan dan hasil-hasil bumi sehingga ia bisa berpaling melihat jauh kepada tujuan yang pada dasarnya rohani dan sorgawi dari panggilannya.
Bagian dalam Amsal menekankan hubungan erat antara menatap lurus ke depan dan memiliki jalan kemajuan yang jelas dan langsung. Abraham menemukan bahwa berpaling dari hal-hal di bumi ini terus menjaga dia selalu tetap bergerak. Dari waktu ke waktu ia bisa menetap dalam kepuasan dengan posisinya sendiri, tapi “ia menanti-nantikan kota,” dan ia diselamatkan dari stagnasi dengan menjaga matanya tetap pada tujuan yang dijanjikan Allah. Sebuah bagian yang sangat relevan dalam hubungan ini adalah: “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Korintus 4:17-18). Ini adalah apa yang kekal yang ada dalam pandangan, dan ini memanggil untuk penyesuaian dalam banyak segi-segi urusan kita, sehingga hidup kita dapat diarahkan kepada kemuliaan tetap tujuan Allah bagi kita. Prosedur kita harus selalu memiliki kekekalan dalam pandangan. Ketika kita sedang mempertimbangkan suatu hubungan, kita harus melihatnya dalam terang akhir Allah. Jika kita harus memutuskan di mana kita harus tinggal atau pekerjaan apa yang harus kita ambil, kita harus membiarkan mata kita terus melihat ke depan, tidak memilih apa yang tampaknya baik hanya pada saat ini, tapi memastikan bahwa nilai-nilai kekal juga dipertimbangkan. Sama seperti Iblis mencobai Kristus dengan menawarkan-Nya kerajaan dunia ini dan kemuliaannya, jadi ia akan mencoba untuk mengalihkan perhatian kita dari kehendak Allah dengan menawarkan keuntungan yang tampak sekarang. Kita akan selalu diselamatkan oleh pandangan ke atas.
Sesuai dengan keinginan T. Austin-Sparks bahwa apa yang telah diterima secara bebas seharusnya diberikan secara bebas, karya tulisannya tidak memiliki hak cipta. Oleh karena itu, kami meminta jika Anda memilih untuk berbagi dengan orang lain, mohon Anda menghargai keinginannya dan memberikan semua ini secara bebas - tanpa d'ubah, tanpa biaya, bebas dari hak cipta dan dengan menyertakan pernyataan ini.